"URUSAN KITA DALAM KEHIDUPAN BUKANLAH MELAMPAUI ORANG LAIN, TETAPI MELAMPAUI DIRI KITA SENDIRI" (Zig Ziglar)

Rindu Sesepuh Bangsa


"Pemimpin sejati, adalah mereka yang punya jiwa memberi bukan meminta". 

"Sekarang, para jiwa pemberi sedang sembunyi, biarkan mental pencuri yang berambisi". 

"Orde Lama diteruskan oleh Orde Baru, Orde Reformasi dimanfaatkan oleh Orde Pencitraan". 

"Jika Pancasila telah diamalkan oleh para penguasa dan rakyatnya setulus hati, Bhineka Tunggal Ika otomatis terjadi".

"Indonesia itu unik, karena kemajemukan, kebiasaan dan cara hidup masyarakatnya, negeri ini punya gaya dan jati diri sendiri, biarlah, tidak harus meniru gaya negeri orang".  


Pemerintahan sekarang seolah berjalan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sementara rakyat yang dipimpin terbiarkan (dibiarkan) bergerak sendiri tanpa aturan pasti, ibarat sebuah kendaraan berjalan tanpa kemudi. Undang-undang, Pancasila dan peraturan pemerintah hanya sebatas retorika dan pemanis  kebangsaan saja, tanpa diamalkan dan dipatuhi. Menurut UUD 1945 dan Pancasila, rakyat yang merupakan inti dari sebuah pemerintahan semestinya (bahkan wajib) sejahtera dan damai kehidupannya, karena rakyatlah pemerintahan itu ada. Tapi sebagus dan sesakti apa pun undang-undang dan dasar negara jika tidak dibaca, diamalkan, ditaati dan dikontrol oleh penguasa, percuma saja tidak ada pengaruh sama sekali.


UUD 1945 dan Pancasila itu sudah bagus dan cocok sekali dengan tipikal asli masyarakat Indonesia, karena merupakan produk dari rasa Nasionalisme  yang tinggi, lahir dari sinergi pemikiran beberapa tokoh yang visioner, negarawan dan pemimpin sejati saat itu. Isi UUD 1945 dan Pancasila itu, embrionya berasal dari pemahaman dan pengalaman sejati pelaku perjuangan, mereka (beliau) para penyusun itu tahu dan merasakan bagaimana pedihnya lama dijajah oleh bangsa lain, kekayaan alam digarong didepan mata atas nama organisasi dan perjanjian (VOC), mereka tahu betul derita rakyat saat berjuang mengusir penjajah. Dari latar belakang embrio Itu, lahirlah UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika plus GBHN, yang jika dipahami, diamalkan dan ditaati, isinya semata-mata untuk kesejahteraan dan kedamaian rakyat Indonesia. 

Untuk para tokoh penyelenggara negara kekinian, cendikiawan, akademisi, jangan pernah berpikir bahwa para pembuat dan penyusun UUD 1945, Pancasila, BTI (Bhineka Tunggal Ika) dan GBHN itu adalah para pemikir kuno dan lokal (ketinggalan zaman), pemikir dan negarawan kaum terjajah. Jika berpikir dan ada anggapan begitu, itu salah besar, bahkan NKRI akan ambruk, mengapa demikian?, karena ke empat produk kebangsaan tersebut adalah pondasi dan penyanggah NKRI, bukti!, beberapa butir isi UUD 1945 di amandemen mantan pemimpin era reformasi Republik Indonesia, akibatnya NKRI goyang, pemerintah sekarang ling lung, rakyat pun bingung seperti pendekar mabuk, terjang sana terjang sini, bacok sini bacok sana (baca; isyu begal), hanya untuk sesuap nasi dan sebagiannya untuk kemewahan dunia dan kekuasaan.

Justru sebaliknya tokoh dan negarawan zaman dulu, adalah para pemikir visioner, punya jiwa nasionalisme tapi memahami  internasionalisme, mempunyai jiwa memberi dan berkorban, lahir besar di zaman perjuangan sehingga punya jiwa bebas dan pikiran merdeka. Mereka tahu bagaimana cara berpikirnya bangsa lain dan sangat memahami kultur dan cara berpikir bangsa sendiri, terpenting mereka juga sangat tahu apa yang tersimpan di tanah Nusantara Raya ini, negeri yang diberi karunia kekayaan berlimpah oleh sang Pencipta berupa sumber daya alam dan (mungkin) warisan harta kekayaan peninggalan kejayaan kerajaan-kerajaan besar Nusantara zaman dulu, wallahu a’lam. Indonesia sekarang rindu dan butuh manusia-manusia seperti mereka, pemimpin sejati yang siap miskin dan berkorban nyawa demi bangsa dan keutuhan NKRI.

UUD 1945, Pancasila, BTI dan wacana GBHN, merupakan produk pemikiran olah rasa spiritual dan intelektual dari tokoh-tokoh unggul Indonesia, yang memiliki jiwa bebas merdeka tidak terkontaminasi unsur kepentingan kelompok atau golongan tertentu, yang mereka pikir dan rasakan saat itu hanyalah cita-cita kesejahteraan rakyat dan kemajuan sebuah negara, tanpa membedakan kelompok dan golongan (Bhineka Tunggal Ika). Saat dibuat dan disusun prosesnya sangat alot, bahkan bercucur air mata dan darah, karena melibatkan berbagai elemen tokoh masyarakat Indonesia yang majemuk, perbedaan paham, kultur dan cara pandang itu pasti ada. Tapi sang proklamator, dua serangkai Soekarno – Hatta sebagai porosnya, mampu mengambil kebijakan dengan tegas, selalu mengambil jalan tengah untuk setiap keputusan baku yang dibuat. 

Mereka menyadari betul, dokumen yang dibuat itu merupakan masa depan Indonesia, pondasi dasar dari cita-cita perjuangan, idealnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia yang merata dan keutuhan NKRI. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) amanat perjuangan diteruskan oleh Soeharto  didampingi Sultan Hamengkubuwono IX yang kemudian digantikan oleh Adam Malik, mulailah babak baru perjuangan pembangunan (dikenal dengan sebutan Orde Baru) yang bekerja berdasarkan pembangunan bertahap dengan acuan GBHN yang berlandasan UUD 1945 dan Pancasila. 

Walaupun cita-cita pendiri bangsa belum tercapai, setidaknya cara kerja pemerintahan Orde Baru kelihatan terstruktur dan lebih terkontrol. Pasar dan ekonomi tidak bergerak liar seperti sekarang, harga kebutuhan sembilan bahan pokok sama merata secara nasional, informasi resmi harga kebutuhan primer lewat corong media pemerintah RRI dan TVRI konsisten diumumkan, dan pastinya ditaati oleh pelaku bisnis, karena ada peran pemerintah yang sangat disegani saat itu. Sekarang, bergulirnya roda ekonomi sepertinya dominan dikendalikan oleh pengusaha dan konglomerat, pemerintah seakan melempem tak kuasa. Mengapa?    

Era reformasi, adalah dimana cara berpikir dan pola hidup sebagian besar masyarakat Indonesia berubah drastis, euphoria terjadi seakan memberi harapan baru bagi cita-cita nasional. Zaman keterbukaan (bahkan bablas) nyaris tanpa kontrol, kebebasan pers (media) melaju arogan melabrak etika ketimuran. Anak bangsa mulai berani bicara dan bersikap kritis, lepas dari perasaan terbelenggu segan wibawa Orde Baru yang begitu lama mengungkung melalui undang-undang subversif. 

Efek dari euphoria transisi itu membuat kita kehilangan jati diri, kehilangan etika Indonesia yang katanya ramah, sederhana, toleran, santun, saling menghargai, gotong royong. Momen psikis tersebut dimanfaatkan oleh kaum neolib untuk menyerang secara halus, disaat Indonesia sedang pesta pora menikmati kebebasan semu bernama reformasi, media televisi swasta yang telah bebas bablas begitu gencar melakukan brainwash, penetrasi faham cinta dunia, hiburan dan kemewahan (hedonisme dan materialistis) pun dilakukan, demi kepentingan bisnis dan mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan aman dan nyaman, sehingga budaya korupsi, sogok menyogok, sikut kiri kanan menjadi biasa saja, toleransi dan saling hormati tak lagi di junjung tinggi. Kita telah kehilangan sejati Indonesia.   

Bahkan jiwa nasionalisme, tolong menolong, kepedulian dan persatuan pun mulai menipis didada sebagian anak bangsa, karena pengaruh program media televisi yang tidak membumi, jauh dari budaya Indonesia. Anak negeri seperti kehilangan identitas, sehingga produk hiburan dan produk yang berbau luar negeri menjadi kebanggaan.  Ingat, sebagian besar saham grup media-media besar di Indonesia adalah milik konglomerat asing, yang orientasinya murni bisnis dan kepentingan.

Namanya juga neolib saudara dengan neokolonial, sebagian dari mereka sudah pasti tidak peduli dengan yang namanya kemakmuran rakyat apa lagi cita-cita nasional, bukan urusan mereka. Jangan lupakan, penjajah Belanda masuk ke Indonesia atas nama berdagang (bisnis) dengan misi 3G: gold, gospel dan glory (kekayaan, penyebaran agama dan kejayaan), apa yang diwariskan oleh mereka?, hanya gedung-gedung tua, kebodohan, kemelaratan, yang lebih parah mental trauma negeri jajahan. 

Reformasi, semakin kesini kita semakin kehilangan jiwa Indonesia, kehilangan persatuan, lihat para politisi dan penguasa Indonesia sekarang, tidak lagi saling hargai, malahan mempertontonkan ego bahkan tonjok-tonjokkan, saling jegal dan fitnah disorot media televisi, berbuat curang dan melanggar undang-undang (hukum) adalah hal yang biasa saja. Kalau penyelenggara pemerintahannya begitu, bagaimana dengan rakyatnya?. Sadarlah, mulailah bangun dari mimpi semu reformasi, ayo bangkit kembali menjadi Indonesia, kembalikan UUD 1945-ku, Pancasila-ku, Bhineka Tunggal Ika-ku, GBHN-ku. Jangan biarkan neolib & neokolonial perkasa di bumi pertiwi, hadang laju mereka dengan cara kembali mengamalkan Pancasila dan taati UUD 1945 yang asli, kesaktian Garuda Pancasila ada ditangan kita, rakyat Indonesia.

Apabila tidak mengerti UUD 1945 dan Pancasila, tidak mau mengamalkan dan menjiwai, jangan pernah berniat menjadi penyelenggara negara, apalagi coba-coba menjadi seorang presiden. Bila dipaksakan bisa saja, tapi percuma, rakyat akan sengsara dan perjuangan dalam menggapai cita-cita nasional pendiri bangsa semakin jauh.

Pojok Jakarta,
Terinspirasi dari obrolan santai dengan sesepuh bangsa, mantan ajudan Bung Karno dan Pejabat Di Era Pak Harto.