"URUSAN KITA DALAM KEHIDUPAN BUKANLAH MELAMPAUI ORANG LAIN, TETAPI MELAMPAUI DIRI KITA SENDIRI" (Zig Ziglar)

5 Alasan Basuki Indra (Ahok) Bisa Kalah Dalam Pilkada DKI


Pada suatu kesempatan diskusi terbuka di seketariat aktivis Aliansi Gelora Bung Karno (AGBK) di bilangan Jakarta Selatan, beberapa teman mencoba membahas tulisan Denny JA, dedengkot Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Tulisannya sebagai berikut.

Saya sering ditanya oleh wartawan dan politisi soal apakah Ahok bisa dikalahkan di pilkada DKI, 10 bulan lagi. Ini mungkin karena mereka melihat pengalaman saya yang sudah memenangkan 3 pemilu presiden dan 30 gubernur selama saya berkarir sebagai konsultan politik. LSI juga sudah melakukan riset pada bulan Maret 2016. Banyak data yang belum diungkap lembaga survei lain yang sebenarnya bisa memberikan gambaran utuh.

Ini pendapat saya selaku profesioanal. Silahkan disebarkan opini saya ini sehingga saya tak perlu lagi melayani permintaan wawancara aneka media. Ahok memang kuat tapi bisa dikalahkan karena lima alasan, berdasarkan data survei dan pengalaman. 10 bulan sebelum hari H Pilkada, posisi Ahok memang cukup kuat. Dukungan Ahok di atas 50 persen. Kepuasan atas kinerjanya di atas 60 persen. Namun Basuki Purnama masih bisa dikalahkan. Ini data yang belum diungkap lembaga survei lain. Bahwa di atas 70 persen publik merasa ahok bisa dikalahkan. Sentimen ahok bisa dikalahkan merata di aneka segmen pemilih: kaya-miskin, muda-tua, apapun agamanya, apapun partai pilihannya.

Mengapa Ahok bisa dikalahkan?, ini  5 alasannya:

1. Banyak contoh opini publik berbalik dalam waktu 10 bulan
a) Pilkada DKI 2012, H-10 bulan; Fauzi Bowo di atas 50 persen. Jokowi di bawah 10 persen, hasil akhir: Jokowi justru menang.
b) Pilkada Jateng 2013, H- 10 bulan: Bibit Waluyo di atas 50 persen Ganjar Pranowo di bawah 10 persen, hasil akhir: Ganjar Pranowo justru menang.
c) Pilpres 2004, H- 10 bulan, Megawati di atas 50 persen, SBY di bawah 10 persen, hasil akhir SBY justru menang.

10 bulan adalah waktu yang panjang untuk perubahan dukungan.

2. Lebih dari 40 persen Muslim Jakarta tak bersedia dipimpin non-muslim. Perjuangan anti Ahok dalam 10 bulan ke depan menjadi kuat karena motiv keagamaan. Terlepas kita suka atau tidak suka, ini prilaku pemilih Jakarta yang terpotret.

3. Partai besar tak ingin ahok menang jika Ahok menggunakan jalur independen. Yang mereka kwatirkan bukan Ahok di DKI, tapi meluasnya eforia calon independen di daerah lain. Ini membahayakan eksistensi partai dalam pilkada.

Jika Ahok menang dengan maju melalui jalur independen, warung partai politik akan sepi diminati pada pilkada berikutnya. Partai besar akan sekuat tenaga bersatu agar ini tidak terjadi. Jika akhirnya partai besar mendukung Ahok, mungkin karena Ahok membatalkan maju lewat jalur independen. 

Marwah partai besar jelas terganggu jika mereka hanya menjadi pelengkap saja dari Ahok yang sah maju sebagai calon independen. Partai besar yang bersatu melawan Ahok karena alasan survival, itu akan menjelma menjadi mesin raksasa.

4. Lebih dari 40 persen pemilih tak suka karakter Ahok. Mereka suka ketegasan Ahok, namun pernyataan kasarnya di depan publik tak disukai. Misalnya ketika ia menghardik seorang ibu dengan pernyataan "Ibu Maling" yang beredar luas, perkataan kotornya waktu wawancara di televisi swasta (secara psikologi melukai hati rakyat Indonesia, khususnya warga DKI yang biasa memiliki tokoh publik yang bicara santun).

5. Lebih dari 40 persen pemilih tak suka kebijakan publik Ahok yang terkesan tebang pilih. Tegas dan keras terhadap rakyat kecil dalam kasus penggusuran. Namun lemah terhadap para taipan dalam kasus reklamasi pantai, yang dianggap merusak lingkungan dan potensial menenggelamkan beberapa pulau kecil. LSM yang bergerak di bidang penggusuran, lingkungan hidup dan hak asasi manusia potensial menjadi lawan Ahok.

Dengan 5 alasan ini, Ahok masih mungkin dikalahkan sebagaimana Fauzi Bowo yang dulu dominan dikalahkan oleh Jokowi yang underdog. Atau Bibit Waluyo yang dulu dominan di Jateng dikalahkan oleh Ganjar Pranowo yang underdog.
Namun tentu saja Ahok juga masih mungkin menang, sebagaimana Ahok masih mungkin dikalahkan. Ini tergantung apa yang terjadi dalam ruang publik Jakarta 10 bulan ke depan.

Tanggapan dr. Zul, seorang aktivis pergerakan dari Aliansi Gelora Bung Karno (AGBK): "Saya sudah sering katakan, bahwa setelah terjadi kudeta konstitusi terhadap UUD 1945 menjadi UUD 2002, maka Presiden dan kepala daerah sudah ditetapkan oleh "mereka" (para mafia yang bermain di system politik dan ekonomi Indonesia), pilpres dan pilkada hanya alat untuk melegitimasi pilihan mereka, inilah "schema global" yang harus dilawan, maka posisi AGBK menjadi sangat penting, sehingga tema "Konstitusi atau Revolusi" harus segera dijalankan.